Opini Saat Ini:


KETIKA BENIH DISEMAIKAN
Refleksi 150 Tahun Injil Di Tanah Batak
 
Pra-Wacana
Saat ini, gereja-gereja khususnya yang berbasis di Sumatera Utara, sedang terhipnotis dengan perayaan Jubileum 150 tahun Injil. Sayangnya, organisasi gereja tertentu mengklaim bahwa peristiwa 150 tahun yang lampau merupakan tonggak berdirinya gereja yang dimaksud. Hal itu patut disayangkan, meskipun tidak ada satu pihak pun yang berkompeten melarang jubileum mereka -dan dengan demikian, mereka pun tidak berhak melarang ada organisasi gereja lain yang menggunakan momen 150 tahun yang lampau menjadi hari lahir gerej lain, seperti: GKPI, GKPA, HKI, GKPS, dll-.

Tulisan ini tidak bertujuan untuk memancing ruang konflik atas keabsahan jubelium 150 tahun tersebut. Meskipun harus disadari, bahwa pertemuan 4 orang Missionaris di Parasorat, Sipirok, bukanlah pertemuan gerejawi dalam arti organisatoris, sebab mereka justru tidak mewakili salah satu denominasi atau organisasi gereja, melainkan lembaga Pekabran Injil. Dengan demikian, pertemuan 4 orang Missionaris di Parausorat adalah pertemuan gerejawi dalam arti fungsional, yakni merumuskan strategi Pekabaran Injil (bukan pembangunan organisasi gereja) di Tanah Batak.
 
Identitas Batak Pra-Injil
Berdasarkan bukti sejarah mengenai Barus, pusat perdagangan internasional pantai Barat Sumatera sejak abad ke-8, orang Batak memiliki peranan yang tidak kecil dalam aktivitas perdagangan di kota pelabuhan itu. Komoditi kamfer dan kemenyan yang menjadi ekspor utama Barus dibudidayakan di hutan-hutan dataran tinggi Toba. Dalam aktivitas perdagangan itu orang Batak selalu mengalami perjumpaan dengan bangsa-bangsa lain, mulai dari Arab, Persia, India, hingga China. Sebuah tulisan berbahasa Tamil di Lobutua, Barus, yang ditulis tahun 1088 menjelaskan adanya komunitas masyarakat Tamil di tempat itu. Selain, keberadaan benda-benda keramik China di tempat yang sama juga menjelaskan keberadaan pedagang-pedagang Tiongkok. Di tanah Batak bagian Selatan, ditemukan peninggalan candi di Padang Lawas yang menunjukkan adanya hubungan antara orang Batak dengan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Hubungan ini muncul akibat perdagangan ekonomi dan politik. Orang Batak juga telah memiliki perjumpaan dengan kekristenan melalui orang-orang Persia.

Laporan-laporan pedagang China pada abad ke-7 menyebutkan bahwa orang-orang Persia yang beragama Kristen telah melakukan kegiatan perdagangan dan keagamaan di Barus. Sedangkan dengan Islam, orang Batak telah mengenalnya dengan baik melalui aktivitas para pedagang Arab di kota yang sama. Interaksi global antara orang Batak dengan bangsa-bangsa lain itu memberikan dampak terhadap gagasan sosial keagamaan yang terserap dalam budaya Batak.
Sayangnya, hubungan atau kontak antara orang Batak dengan bangsa-bangsa lain sejak ribuan tahun yang lalu tidak memupus predikat bangsa barbar sebagaimana dilekatkan oleh bangsa Eropa. Marco Polo, seorang pengelana Eropa pertama yang singgah di Sumatera menyebutkan dua macam penghuni pulau itu. Pertama, kelompok masyarakat pesisir yang sudah memeluk agama Islam. Kedua, kelompok masyarakat pedalaman yang masih hidup dengan cara barbar. Kelompok masyarakat pedalaman itu menunjuk kepada keberadaan orang Batak. Catatan buram itu dilanjutkan oleh Niccolo de’ Conti, penjelajah dari Venesia. Berdasarkan kunjungannya ke Barus tahun 1421, ia menginformasikan tentang ‘orang Batak yang hidup secara kanibal dan berperang terus-menerus dengan tetangga mereka’.

Pendapat yang sama datang dari penjelajah Tiongkon, Zhao Rugua, yang menggunakan kata ‘Ba-ta’ untuk menjelaskan penduduk Sumatera di bawah perwalian Kerajaan Sriwijaya. Laporan penjelajah Portugis, Tome Pires, juga tidak berbeda. Dia menyebut adanya Kerajaan Batak yang berbatasan dengan Kerajaan Aru dan Kerajaan Pasai (Aceh), dengan kebiasaan Kanibalisme. Anggapan-anggapan ini tampaknya mengikuti pandangan yang sudah terbentuk berabad-abad sebelumnya. Dalam tulisannya sekitar tahun 100 seb. Masehi, Ptolomeus, sejarawan Yunani mencatat adanya praktek kanibalisme di pedalaman Barusae, yang diidentifikasikan sebagai Barus. Identifikasi negatif semacam itu selanjutnya membentuk anggapan bahwa praktek tersebut benar-benar ada dalam kehidupan orang Batak.

Sayangnya, predikat orang Batak sebagai bangsa barbar dan pelaku kanibalisme tidak berubah hingga awal abad ke-19 saat Barus sudah kehilangan pengaruh perdagangannya dan digantikan oleh Sibolga dan Padang. Charles Miller dan Giles Holloway dari Inggris yang mengunjungi daerah Mandailing, Angkola, dan sebagian Silindung, pada tahun 1772 juga bersikukuh bahwa praktek kanibalisme di kalangan Batak masih ada. Selanjutnya, dua pekabar Injil asal Inggri, Richard Burton dan Nathaniel Ward yang sempat mengabarkan Injil hingga Tarutung, juga melaporkan adanya indikasi kanibalisme desa-desa Batak yang mereka lalui. Pendapat ini belakangan didukung sepenuhnya setelah kematian dua pekabar Injil dari Gereja Baptis Amerika, Samuel Munson dan Henry Lyman dalam sebuah insiden berdarah Lobupining, Silindung, tahun 1834. Kabar burung yang dihembuskan, orang Batak memakan tubuh mereka.

Baru pada pertengahan abad ke-19, pandangan itu diragukan oleh peneliti Jerman, Franz Willem Junghuhn, yang menjelajahi tanah Batak kurun waktu 1840-1841. Selama 17 bulan keberadaannya di daerah Batak, Junghuhn mengaku tidak pernah menyaksikan praktek kanibalisme di desa-desa Batak. Dia malah heran mengapa predikat barbar dan kanibalisme melekat pada diri orang-orang Batak selama berabad-abad. Dalam bukunya, Die Battalander auf Sumatra (1847), Junghuhn menyimpulkan bahwa cerita-cerita barbarisme dan kanibalisme hanya rumor yang sengaja diciptakan orang Batak sendiri untuk membentengi diri dari ancaman luar yang mungkin mengganggu ketenteraman mereka. Demikian orang Batak membentuknya selama berpuluh-puluh abad. Kesimpulan Junghuhn menjadi relevan karena ketika dia berkunjung, orang Batak masih trauma akibat serangan pasukan Paderi.

Perkenalan Pertama Terhadap Injil
Sebuah rapat khusus pengurus Baptist Missionary Society (BMS)  Inggris, digelar di London, 17 Desember 1819. Rapat yang dipimpin oleh Joseph Gutteridge itu menghasilkan kesepakatan bahwa mereka akan menerbitkan sebuah surat keputusan kepada dua orang pekabar Injil BMS, Richard Burton dan Charles Evans untuk melakukan sebuah misi penting. Keduanya akan dikirim ke Sumtera dan merintis jalan Pekabar Injil kepada penduduk pulau itu. Sebelum menjalankan tugas, mereka diminta menemui Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, dan bertanya daerah akan mereka tuju. Keduanya juga diminta bertemu Nathaniel Ward, rekan mereka yang sudah lebih dulu bekerja di Bengkulu.

Burton dan Evans diberi nasehat agar berkomunikasi dengan cara yang sederhana dengan penduduk asli ke mana pun mereka diutus. Salah satu alinea surat itu berbunyi:
“Agar berguna, kalian berdua harus menghindari kesan angkuh. Jangan menunjukkan rasa jijik jika melihat kebiasaan mereka yang tidak lazim, tetapi tunjukkanlah keramahan. Jangan bicara kasar dan menyahkan kebiasaan mereka tetapi berusahalah pelan-pelan untk membangkitkan minat mereka kepada apa yang kamu katakan. Ingatlah selalu, sebagaimana kalian sudah sering mendengarnya, bahwa penggerak utama untuk menobatkan orang-orang kafir adalah dengan memberitakan kasihNya di kayu salib. Katakanlah mengenai hal itu dengan terang dan jangan tawar hati”
Setibanya di Bengkulu, yang waktu itu pusat pemerintahan Inggris di Sumatera, Burton dan Evans menemui Raffles dan Ward. Raffles meminta mereka untuk mengabarkan Injil di Tanah Batak. Permintaan ini sesuai dengan rencana Raffles sendiri memantapkan kekuasaan Inggris di Sumatera. Laporan-laporan dari Charles miller dan Giles Holloway tahun 1772 mengenai tanah Batak cukup meyakinkan Raffles bahwa waktunya telah tiba Injil dikabarkan di daerah itu. Namun karena alasan kesehatan, Evans tidak jadi ikut dalam ekspedisi ke tanah Batak. Raffles turut mengantar Burton dan Ward hingga ke Sibolga.

Pada Jumat, 30 April 1824, Burton dan Ward memulai misi yang kelak akan menjadi batu pertama kekristenan di tanah Batak. Perjalanan itu tidak mudah sebab mereka menempuh jalur yang belum pernah dilakukan orang Eropa manapun. Sebelumnya, Miller dan Holloway mengambil jalur pesisir pantai Sibolga-Aek Raso-Sorkam. Burton dan Ward menembus jalur pedalaman. Jalur itu membuat keduanya diliputi kekhawatiran, terutama oleh desas-desus perilaku barbar orang Batak yang melekat di benak mereka. Dalam laporannya, mereka mengaku tidak mengetahui informasi memadai mengenai daerah yang hendak mereka tuju. Disertai belasan pengiring pribumi, Burton dan Ward menempuh bukit dan lembah. Mereka melalui daerah-daerah Nagatimbul, Parsingakaman, Pagaran Lambung, dan Banuaji sebelum tiba di lembah Silindung. Di setiap daerah itu mereka melakukan pengamatan mendalam mengenai bahasa, kondisi geografis dan demografis, serta kebiasaan-kebiasaan orang Batak yang mereka saksikan. Hal penting dari laporan mereka adalah keterbukaan orang Batak menerima orang asing. Keduanya mengakui bahwa kedatangan mereka menjadi pusat perhatian, namun tiddak mendapat gangguan apa-apa dimanapun mereka singgah. Di Hutatinggi, mereka dijamu dan disambut dengan kata-kata umpasa, nyanyian dan tortor.
Akhirnya mereka tiba pada hari pekan di onan Sitahuru, Saitnihuta. Raja-raja setempat menyambut mereka dengan tangan terbuka. Sempat terjadi dialog ketika orang asing itu bertanya tentang asal muasal orang Batak. Raja-raja Silindung menerangkan dengan fasih menurut versi mereka. Pertemuan Sitahuru itu berlangsung mulai pukul 9 pagi hingga pukul 3 sore. Ketika tiba gilirannya, Burton dan Ward menjelaskan maksud kedatangan mereka. Keduanya menawarkan sebuah kesempatan kepada orang Batak memasuki kehidupan kekal. Mereka menjelaskan Dasa Titah, tetapi orang Silindung menjawab bahwa orang Batak sudah memiliki hukum seperti itu.
Namun, khotbah mengenai Yesus ternyata menimbulkan rasa ingin tahu orang Silindung. Burton berkata bahwa untuk sampai kepada Yesus, manusia harus mau meninggalkan kebiasaan yang lama, rela merendahkan diri dan menjadi kecil. Syarat itu tentu saja tidak masuk akal orang Batak. Bukan semata-mata karena mereka diharuskan meninggalkan kebiasaan, melainkan juga harus mengurangi tujuan hidup mereka, hasangapon, hamoraon, dan hagabeon.
Seorang raja marga Lumbantobing, yang kelak cucunya Raja Pontas menjadi perintis kekristenan Batak, mewakili penduduk akhirnya memberi jawaban. Katanya, mereka tiddak dapat menerima tawaran kedua pekabar Injil itu. Mereka mau menerima apa saja jika bermanfaat meningkatkan prestise sosial mereka. Namun mereka tidak suka kalau harus berjalan mundur mencapai tujuannya.

Perang Paderi dan Peristiwa Lobu Pining
Menurut ingatan bersama orang Batak, pasukan Paderi menyerbu Silindung hingga mendekati Danau Toba. Untuk alasan-alasan penyebaran agama, penguasaan jalur perdagangan dan konsesi tambang di Rao, pasukan Paderi meluluhlantahkan sistem sosial dan budaya Batak dalam serangkaian serangan ganas. Penaklukan itu didukung oleh kehadiran seorang petualang Batak bernama Pongki Nangolngolan. Konsolidasi kekuasaan Tuanku Rao dan Padri menandai permulaan periode pahit orang Batak.

Tanah Batak memiliki peranan penting dalam arus perdagangan internasional yang saat itu dikendalikan dari Barus. Potensi padi di ujung selatan Danau Toba dan desa-desa Bakara, serta pasar utama beras, budak, ternak, dan kuda di Butar dan Balige, merupakan mata rantai penting bagi mereka perekonomian Sumatera abad ke-19. Kaum Paderi memiliki ambisi besar untuk mengendalikan lalu lintas perdagangan itu, dengan atau tanpa kekerasan.
Motif lain dari ambisi itu adalah penyebaran Islam ke daerah luar Minangkabau. Gerakan Paderi merupakan salah satu gerakan radikal Islam Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Dengan lantang, Abdul Wahab menegaskan bahwa Islam yang otentik adalah model Islam pada zaman Nabi dan para sahabatnya. Dengan semangat menegakkan ajaran Islam yang murni, kaum Wahabi melakukan serangkaian gerakan pembersihan, kebanyakan dengan kekerasan mematikan.

Kaum Padri mengusung semangat Wahabi ke Minangkabau. Tiga tokoh Padri, Haji Miskin dari Agam, Haji Piobang dari Lima Puluh Koto, dan Haji Sumanik dari Tanah Datar, yang baru menunaikan ibadah haji pada tahun 1803, sepakat melakukan reformasi dengan cara-cara yang radikal di Minangkabau. Sebagaimana pengikut Wahabi di Timur Tengah, Kaum Padri juga menggunakan cara kekerasan. Makam, sabung ayam, perjudian, mereka serang. Tidak hanya itu, surau-surau yang mengembangkan tarekat, dan memberi penghargaan berlebih kepada para Syekh, mereka hancurkan.
Pongki Nangolngolan, seorang Batak, melakukan persekongkolan dengan dan bersekutu dengan pasukan Padri. Ia selanjutnya diangkat sebagai imam dan penguasa lembah Rao dengan gelar Tuanku Rao. Menurut tradisi lisan, pasukan Padri di bawah Tuanku Rao menghadapi Sisingamangaraja dari Bakara. Tuanku Rao, demikian tradisi itu, konon merupakan kemenakan yang disiasiakan oleh Sisingamangaraja. Keterangan ini dapat menjelaskan mengapa Tuanku Rao dikatakan membunuh sang paman. Tragedi itu terjadi di Butar ketika Tuanku Rao mengundang Sisingamangaraja dalam sebuah pertemuan. Selain itu, Sisingamangaraja juga dianggap sebagai tokoh berbahaya karena dinilai berpotensi mengerahkan orang Batak melawan Islam. Faktor lain, Sisingamangaraja mempunyai hubungan dagang dengan Barus, terutama dalam sistem barter hasil hutan dataran tinggi dengan pasokan garam dari pesisir. Padahal, jalinan inilah yang ingin dipatahkan oleh kaum Padri.

Menurut paparan Pdt. Dr. Justin Sihombing, selama kedatangan pasukan Padri, desa-desa dan lumbung padi dibakar, laki-laki dan perempuan dibunuh, sebagian diantaranya dijadikan budak. Anak-anak dan perempuan yang selamat bersembunyi di hutan-hutan. Sepeninggalan pasukan Padri, penyakit epidemi menyerang masyarakat Batak akibat banyaknya mayat bergelimpangan. Jumlah penduduk menurun drastis. Situas tanah Batak menjadi morat-marit. Pustaha, yang menjadi sumber pengetahuan tradisional orang Batak dimusnahkan. Hubungan kekerabatan menjadi kacau balau dan untuk waktu yang cukup lama, hukum dan norma sosial yang mengatur masyarakat Batak menjadi berantakan. Di tengah situasi kacau balau itu, perang antar desa terjadi akibat saling curiga di antara mereka.

Pada saat hampir bersamaan dengan penyerangan pasukan Padri ke tanah Batak, mata orang Kristen di dunia Barat tertuju pada Asia Tenggara. Temuan-temuan antropologis serta perluasa wilayah jajahan menjadi alasan lembaga misi untk memperkenalkan iman Kristen kepada bangsa-bangsa Asia. The American Boar of Commissioner for Foreign Mission (ABCFM) adalah salah satu lembaga misi Amerika Serikat yang berniat mengabarkan Injil ke belahan Asia. Setelah berhasil mengabarkan Injil di Thailand, lembaga itu mengarahkan pandangan ke pulau-pulau terdekat. Mereka mendapat informasi bahwa penduduk Sumatera belum tersentuh oleh kekristenan padahal kolonial Belanda sudah menguasai daerah itu.

ABCFM mengutus dua orang pekabar Injil muda yang baru tamat kuliah di Seminari Teologi Andover, yakni: Samuel Munsom dan Henry Lyman. Keduanya terobsesi membawa Injil ke belahan dunia yang masih asing buat orang-orang Barat. Pada awalnya, misi mereka adalah Pulau Nias dan jika mungkin ke bagian utara Pulau Sumatera, khususnya orang Batak. Pada tanggal 10 Juni 1833, Munson dan Lyman meninggalkan Boston menuju Batavia. Mereka menumpang kapal laut Duncan. Butuh waktu 103 hari hingga Duncan merapat di Batavia. Di kota itu, mereka menemukan bahwa keinginan mereka memasuki Pulau Nias tidak semudah yang direncanakn. Pemerintah kolonial Belanda tidak memberi izin. Mereka disarankan ke tanah Batak. Munson dan Lyman kemudian menuju Padang untuk berdiskusi dengan Nathaniel Ward, yang bersama Burton, pernah ke Silindung. Mereka akhirnya tiba di Sibolga pada tanggal 17 Juni 1834.

Perjalanan ke tanah Batak disertai oleh 14 orang pengiring, terdiri dari pengangkut barang, penerjemah, kepala kampung, dan seorang polisi. Saat melewati desa-desa orang Batak, keduanya disambut dengan ramah. Namun, raja-raja setempat mengingatkan mereka untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Silindung sebab keadaan di daerah itu masih belum aman. Silindung mengalami kekacauan yang serius akibat perang antardesa yang tidak henti-henti setelah tentara Padri memorakporandakan tanah Batak. Tetapi, keduanya bersikukuh bahwa mereka membawa damai bukan perang.

Pada tanggal 28 Juni 1834, kira-kira pukul 4 sore, di tengah hutan Sisangkak, Lobupining, rombongan tiba-tiba dikepung 200 orang bersenjata. Saat itu, Lobupining dipimpin Raja Panggalamei, yang tengah berperang melawan desa lain. Lagi pula, Panggalamei turut serta dalam kesepakatan raja-raja Silindung untuk membentengi daerah itu dari kehadiran orang asing. Kedatangan belasan orang tidak dikenal menimbulkan prasangka buruk bagi Panggalamei dan pasukannya, serta menganggap mereka sebagai musuh. Dalam keadaan menegangkan, situasi menjadi tidak terkendali. Rentetan letusan senjata terdengar bersamaan dengan desingan tombak. Munson dan Lyman terkena peluru, dan mati di tempat itu. Menurut tradisi, mayat Munson dan Lyman akhirnya dimakan oleh Raja Panggalamei dan pasukannya.

Motif pembunuhan Munson dan Lyman pada dasarnya diakibatkan oleh trauma orang Batak atas kehadiran orang asing. Hal itu diakibatkan oleh besarnya kerusakan kehidupan sosial yang dialami orang Batak setelah serangan pasukan Padri. Sejak serangan pasukan Padri itu, dunia orang Batak sungguh-sungguh berada di titik nol kegelapan sejarah bangsa itu. Saling curiga antar desa, terutama dengan kehadiran orang asing sering diwujudkan melalui peperangan dan saling membunuh.

Injil Yang Bertumbuh
Dua gelombang pekabaran Injil yang telah dipaparkan di atas dapat dikatakan gagal menyentuh tanah Batak. Pada akhirnya, seorang Penginjil dari Eropa bernama Gerrit Van Asselt kembali membuka pintu bagi orang Batak untuk berjumpa dengan Kristus. Ia datang ke tanah Batak sebagai utusan sebuah jemaat desa Ermelo, Belanda. Jemaat yang dipimpin Pendeta Hans Witteven itu mengobarkan semangat pekabaran Injil dengan semboyan Matius 28:19, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu…”. Selain van Asselt, jemaat Ermelo juga mengutus Friedrich Wilhelm Bets yang bekerja di Bungabondar, J.G. Dammerboer ke Hutarimbaru, dan A.A. van Dalen ke Pargarutan.

Van Asselt tiba di Padang tanggal 2 Desember 1856 dan langsung meminta izin pemerintah kolonial Belanda untuk pergi ke tanah Batak bagian utara. Namun, maksud itu tidak dikabulkan. Van Asselt hanya diberi izin di Angkola yang dikuasai Belanda sejak tahun 1834 dan pada 1842 dimasukkan ke dalam keresidenan Tapanuli yang berpusat di Sibolga. Demi keamanan, serta menunjang biaya hidupnya yang serba kurang, van Asselt dipekerjakan sebagai pegawai pemerintah. Dia ditempatkan di Parausorat, dekat Sipirok, sejak Januari 1857. Tugasnya, mengawasi penanaman kopi dan pembangunan jalan di Angkola Dolok. Walau begitu, tugas utamanya sebagai penginjil tidak pernah diabaikan. Dengan penguasaan bahasa Batak yang amat terbatas, van Asselt mendirikan tempat tinggal di atas tanah pemberina Na Lolot Nasution. Di tempat inilah van Asselt mengumpulkan budak anak-anak yang dia tebus dari pasar Sipirok. Saat itu, praktek perdagangan manusia di tanah Batak merupakan salah satu aktivitas ekonomi bernilai tinggi.

Anak-anak itu selanjutnya diajari dan dikenalkan pada Injil. Bersama mereka, turut juga anak-anak Parausorat dan desa sekitarnya. Hasilnya, di Sipirok pada 31 Maret 1861, van Asselt membaptis Simon Siregar, seorang anak raja setempat dan Jakobus Tampubolon, bekas budak yang ditemukan van Asselt di Barus. Keduanya menjadi orang Batak pertama yang mengaku Yesus Kristus sebaga Juruselamatnya. Jelas bahwa karya van Asselt merupakan api kecil yang menerbitkan terang yang besar bagi orang Batak. Van Asselt menabur benih kekristenan di tanah Batak, yang akan terus berbuah di bahwa cahaya Injil yang menerangi kehidupan orang Batak.

Sebuah keadaaan yang tidak menggembirakan terjadi di Kalimantan pada tahun 1859. Pangeran Hidayat, pemimpin rakyat Banjar melakukan perlawanan hebat terhadap kolonial Belanda. Dipicu usaha kolonial untuk mengukuhkan calon sultan yang tidak disukai rakyat, perang itu ternyata berakibat fatal bagi pekabaran Injil disana. Perlawanan kepada Belanda meluas menjadi kebencian kepada bangsa Eropa. Akibatnya, tiga pekabar Injil Rheinsche Mission Gesselschaft (RMG), yang memulai usahanya sejak tahun 1836, tewas terbunuh. Pekabar Injil lainnya, van Hoefen, Klammer, Denninger, Beher, Zimmer, dan Suster Rott, terpaksa mengungsi ke Pulau Jawa. Misi RMG berujung pada ketidakpastian. Pada saat yang sama, Dr. Friedrich Fabri, pimpinan RMG di Jerman tengah berkunjung ke Negeri Belanda. Disana dia bertemu van der Tuuk dan membara karya-karyanya mengenai Batak. Van deer Tuuk banyak memberi masukan dan dorongan agar Fabri mempertimbangkan pekabaran Injil ke tanah Batak.

Karena kondisi Kalimantan tidak memungkinkan lagi terhadap usaha pekabaran Injil, Dr. Friedrich Fabri memutuskan RMG untuk bekerja di Tanah Batak. Ia segara mengutus van Hoefen untuk mencari peluang pekabaran Injil di tanah Batak. Van Hoefen segera menuju Sibolga untuk bertemu dengan van Asselt, Bets, dan Dammerboer. Dari pertemuan itu, van Hoefen menyimpulkan bahwa peluang di tanah Batak terbuka besar. Laporan itu membesarkan hati para pengurus RMG dan segera mengutus pekabar Injil Johann Carl Klammer dan Wilhem Carl Heine, yang baru menyelesaikan studi di Seminari Barmen, segera menuju tanah Batak.

Setiba di tanah Batak, Klammer dan Heine segera menemui pekabar Injil Belanda yang sudah terlebih dahulu disana. Hasilnya, bersama van Asselt dan Betz, mereka mengadakan sebuah pertemuan di Parausorat pada tanggal 07 Oktober 1861. Sebuah teks Alkitab menjadi visi dalam pertemuan itu, “Gunung rumah TUHAN akan berdiri tegak mengatasi gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; bangsa-bangsa akan berduyun-duyun ke sana” (Mika 4:1).
Dalam pertemuan itu dibicarakan strategi pekabaran Injil ke seluruh tanah Batak. Mereka sepakat membagi pekerjaan berdasarkan wilayah. Klammer di Sipirok, Betz di Bungabondar, van Asselt dan Heine ke tanah Batak utara. Namun, di kemudian hari van Asselt dan Heine tidak jadi ke tanah Batak utara sebab mereka belum mampu berbahasa Batak. Mereka juga sepakat untuk membangun pelayanan yang holistik (menyeluruh), yakni pembangunan christendom atau pargodungan, yang terdiri dari gereja, sekolah, dan pusat layanan kesehatan.

Semua pelayanan pekabaran Injil ini berjalan di bawah koordinasi RMG. Dengan demikian, van Asselt dan Betz bergabung dengan lembaga pekabaran Injil Jerman itu. Pertemuan di Parausorat itu merupakan pertemuan bersejarah yang membuat pekabaran Injil di tanah Batak dapat dilakukan dengan baik dan terorganisir. Keteraturan semacam itu menjadikan Injil di tengah-tengah orang Batak menyebar dengan cepat. Klammer mendirikan jemaat Sipirok tahun 1861, Betz mendirikan jemaat Bungabondar tahun 1861, van Asselt mendirikan jemaat Sarulla tahun 1862, Heine mendirikan jemaat Sigompulon, Pahae tahun 1862.

Dr. Ingwer Ludwig Nommensen
Ingwer Ludwig Nommensen merupakan tokoh sentral pekabaran Injil di tanah Batak.  Dia juga sering disebut sebagai rasul orang Batak yang menjadikan bangsa Batak menjadi bangsa yang lebih maju, hidup disinari terang Injil di dalam Yesus Kristus, Juruselamat. Nommensen lahir di pulau Nordstrand, Jerman Utara, 06 Februari 1834. Setelah ia tiba di Sumatera, Nommensen berencana langsung menuju tanah Batak. Namun dia mendapat larangan bekerja di daerah pedalaman serta adanya komitmen sesama pekabar Injil untuk memusatkan perhatian ke tanah Batak Selatan.
Setelah berusaha keras, Nommensen akhirnya diizinkan pergi ke Barus. Di kota pelabuhan itu, dia mendirikan sebuah sekolah di bawah kontrol pemerintah Belanda. Nommensen berencana membuat Barus sebagai basis pekabaran Injil ke dataran tinggi Toba dan bergerak ke Rambe, Pakkat. Namun rencana itu tidak berhasil karena pemerintah kolonial tidak menjamin keselamatannya. Hal ini diakibatkan oleh dominasi Islam yang kuat di daerah pesisir, serta sarana jalan yang sulit menuju pusat tanah Batak melalui Humbang. Hingga tahun 1862, Belanda belum dapat memasuki Humbang yang merupakan basis utama Sisingamangaraja XII.

Akhirnya, RMG menyarankan Nommensen pergi ke daerah Silindung. Pemerintah Kolonial juga mendukungnya kendati Silindung masih dikategorikan sebagai daerah bebas. Setelah melalui perjalanan sulit dari Sipirok, dan nyaris tenggelam di Aek Sarulla. Nommensen menginjakkan kaki di Silindung pada tahun 1864. Sebelum menuruni lembah, dari puncak bukit Siatasbarita, Nommensen menatap sejenak keindahan Rura Silindung. Di sana dia bernazar kepada Tuhan bahwa hidup dan matinya akan dia persembahkan bagi penduduk lembah itu. Dalam sepucuk surat yang dikirimkannya ke Barmen, dia menulis sebuah penglihatan tentang hari depan orang Batak:
“Dalam roh saya melihat di mana-mana jemaat-jemaat Kristen, sekolah-sekolah, dan gereja-gereja. Orang-orang Bataka, tua dan muda, berjalan ke gereja-gereja itu. Di setiap penjuru saya mendengar bunyi lonceng gereja memanggil orang-orang beriman datang ke rumah Allah. Saya melihat di mana-mana sawah dan kebun-kebun diusahakan, padang-padang penggembalaan dan hutan-hutan yang hijau, kampung-kampung, dan kediaman-kediamana yang teratur yang di dalamnya terdapat keturunan-keturunan yang berpakaian pantas. Saya melihat pendeta-pendeta dan guru-guru orang pribumi berdiri di atas mimbar, menunjukkan cara hidup Kristen kepada yang muda maupun yang tua. Anda mengatakan bahwa saya seorang pemimpi, tetapi saya berkata, tidak. Saya tidak bermimpi. Iman saya melihat itu semua. Hal itu akan terjadi, karena seluruh kerajaan akan menjadi milikNya dan setiap lidah akan mengetahui bahwa Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa. Karena itu, saya merasa gembira, walaupun mereka mungkin menentang firman Allah, yang mereka lakukan tepat seperti mudahnya mencegah firman Allah dari hati mereka. Suatu saat aliran berkat pastilah akan mengalir atas mereka. Hari sudah mulai terbit. Segera cahaya terang akan menembus, kemudian Matahari Kebenaran dalam segala kemuliaanNya akan bersinar atas seluruh tepi langit tanah Batak, dari selatan bahkan sampai ke pantai-pantai Laut Toba”.
Dengan pendekatannya yang khas, Nommensen berhasil mendirikan Hutadame, Saitnihuta, pada tahun 1864 yang tercatat sebagai pargodungan pertama di tanah Batak bagian utara. Pendirian corpus christendom Hutadame itu berkat jasa Raja Amandari Lumbantobing. Pada tanggal 27 Agustus 1865, Nommensen berhasil membaptis 13 orang, 5 orang di antaranya adalah anak-anak. Setahun berikutnya, dia membaptis 33 orang lagi. Para penghuni Hutadame adalah bekas budak yang ditebus oleh Nommensen dan orang-orang Kristen yang diusri dari desa akibat pindah agama. Kegiatan mereka terutama adalah belajar Firman Tuhan dan pelajaran umum. Mereka juga mendapat pelayanan kesehatan yang disediakan oleh Nommensen bersama P.H. Johannsen, yang datang awal 1866, sebelum P.H. Johannsen membuka jemaat di Pansurnapitu.

Bersamaan dengan perkembangan Injil yang cepat, maka daya tampung Hutadame menjadi sangat terbatas. Raja Pontas kemudian menghibahkan Pearaja tahun 1871. Di situ Nommensen mendirikan pargodungan yang lebih luas, yang terdiri dari gereja, rumah sakit, sekolah, rumah pekabar Injil dan guru-guru, rumah perawatan bayi, dan sebagainya. Dengan kedatangan Nommensen dan kawan-kawan, kehidupan orang Batak sepenuhnya memasuki dunia baru yang diterangi cahaya Injil dan menjadikan perjalanan hidup orang Batak sebagai perjalanan di bawah sinar pengharapan abadi. Para pekabar Injil itu telah menancapkan akar kokoh pertumbuhan iman orang Batak, yakni Injil, berita keselamatan bagi mereka yang menerima Yesus Kristus, Juruselamat.

Kesimpulan
Paparan sejarah di atas menunjukkan bahwa tidak ada satu pun niat dari para missionaris yang menginginkan untuk membentuk gereja sebagai organisasi di Tanah Batak. Usaha para missionaris adalah menanam benih Injil di tanah Batak. Artinya, peristiwa 150 tahun yang lampau adalah peristiwa rohani bagi setiap gereja di Sumatera Utara yang bertumbuh dari benih Injil yang ditaburkan oleh RMG. Kalaupun, ada salah satu gereja yang mengklaim peristiwa sejarah itu adalah milik mereka, -mohon maaf-, mereka telah melakukan manipulasi sejarah dengan melupakan aspek Injil yang seharusnya sudah berbuah saat ini.




MENJANGKAU YANG TIDAK TERJANGKAU
(To Reach the unreach)
Refleksi Singkat Untuk Mereposisi Tugas Panggilan Gereja

Oleh:
Pdt. Irvan Hutasoit, S.Si

Tulisan singkat ini hendak menajamkan pergumulan gereja sebagai persekutuan umat Tuhan dalam mewartakan Kabar Baik di tengah-tengah dunia ini. Pewartaaan Kabar Baik di tengah-tengah dunia ini seringkali diaplikasikan secara sempit meskipun sudah dimaknai secara luas oleh gereja. Pemaknaan Kabar Baik secara luas, berarti gereja sudah sampai pada titik pergumulan bahwa pelayanan Kabar Baik tersebut meliputi pelayanan holistik, yakni pelayanan mimbar dan sosial. Namun, disisi lain, gereja sering ‘malu-malu’ atau ‘apatis’ untuk menyentuh pewartaan Kabar Baik dalam konteks sosial.

Sadar atau tidak sadar, pola pelayanan demikian justru menjadi cara yang efektif untuk mencabut gereja dari akarnya, yakni bahwa ia diutus ke tengah-tengah dunia ini untuk hidup di dunia ini. Artinya, Tuhan tidak pernah menghendaki gereja untuk menciptakan ‘dunia baru’, sebuah dunia yang dibatasi oleh tembok atau dinding kokoh gereja, sementara itu realitas sosial di sekitar gereja, tempat ia hidup, seakan-akan menjadi dunia luar yang tidak perlu diurus. Karena itu, tujuan tulisan ini hanya mengingatkan kita semua, bahwa gereja harus menjangkau yang tidak terjangkau selama ini.

**************

How to live ?, demikian pertanyaan Charles Taylor sebagaimana dikutip oleh William Schweiker. . Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan preambule bagi Charles Taylor untuk menjelaskan nilai-nilai kehidupan yang perlu diterapkan dalam era Posmodern saat ini. Charles Taylor menghantarkan jawaban atas pertanyaan di atas, live must to be valued in human life. Pertanyaan dan jawaban di atas bukan sekedar konseptual, tetapi bagi Charles Taylor, hal itu harus menjadi nilai-nilai moral.

Seharusnya, pertanyaan tersebut perlu dilontarkan kepada gereja pada saat ini, bagaimana gereja harus hidup ?. Jawaban Charles Taylor tersebut, juga menjadi jawaban bagi gereja, dimana gereja harus bernilai dalam kehidupan umat manusia. Nilai yang dimaksud disini sesuai dengan pandangan Charles Taylor, This biblical outlook becomes crystallized around the center of faith, the reality of God.

Nilai yang hendak diwartakan gereja di tengah gereja adalah menempatkan iman sebagai pusat pandangan Alkitab, dan utamnya adalah menyatakan Tuhan di tengah-tengah pergumulan dunia. Bila merujuk pandangan ini pada teks Alkitab, maka akan diperhadapkan dengan pandangan bahwa Tuhan tidak pernah melepaskan diri dari realitas pergumulan umat manusia. Khotbah di Bukit menjadi salah satu contoh, dimana ketika Yesus selesai memberitakan firman, maka Ia juga memberi makan terhadap orang banyak pada saat itu.

Berangkat dari paparan ini, maka yang hendak kita gumuli bukan sekedar konsep atau sistematika teologi, dalam hal kehadiran gereja di tengah-tengah dunia ini. Seharusnya, kita sudah harus berangkat pada tahap yang lebih lanjut, yaitu nilai-nilai yang dianut gereja dalam rangka kehadirannya di tengah-tengah dunia ini. Nilai-nilai tersebut menjadi motor penggerak moral gereja di tengah-tengah arus perubahan pergumulan dunia.

***********
Hans Kung, dalam salah satu bukunya yang sangat fenomenal mengatakan, … the Church must accept in faith the message of the coming reign of God which has irrupted into the present…. Peranan yang harus diambil oleh gereja seharusnya tidak bersifat utopia. Artinya, ketika gereja berbicara tentang Kerajaan Allah, yaitu pemulihan manusia baru sebagaimana saat pertama diciptakan di Taman Eden, maka Kerajaan Allah yang dimaksud bukanlah sesuatu yang akan datang, melainkan kerajaan yang sudah datang, dan nyata di tengah-tengah dunia ini.

Dengan demikian, tugas gereja tidak hanya membicarakan tentang Kerajaan Allah, tetapi menjangkau pada aktualisasi Kerajaan Allah sebagai perwujudan imago Dei . Bentuk penyataan Tuhan dalam konsep Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini adalah menempatkan manusia untuk mendapatkan kemuliaan dan kemenangannya atas segala sesuatu yang telah merusak citra manusia sebagai ciptaan yang serupa dan segambar dengan Tuhan. Pada tahap ini, gereja tentu sudah tiba pada satu paham bahwa firman yang diwartakan adalah firman yang membebaskan.

Pandangan di atas bukan untuk mengagungkan Teologi Pembebasan yang berkembang di Amerika Latin pada periode tahun 1980-1990. Bila kita berkata jujur, maka dapat disepakati bahwa thema sentral yang hendak diberitakan oleh Alkitab adalah pembebasan. Selain pembebasan dari dosa yang membuat manusia menjadi hamba iblis, gereja juga harus berbicara pada pembebasan umat manusia dari semua sistem yang diberlakukan oleh manusia di tengah-tengah dunia ini yang menempatkan sekelompok manusia berada dalam situasi penindasan. Semuanya ini seharusnya menjadi cakupan kerja pelayanan gereja di tengah-tengah dunia ini demi perwujudan tugas gereja yakni penyampaian pesan kedatangan Kerajaan Allah yang sudah berlangsung saat ini.

***********
Perjalanan kehidupan manusia pada saat ini sudah terjebak pada ‘keguncangan solidaritas’, demikian pendapat Jan Patocka, seorang filsuf dari Republik Czech. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh situasi dunia pasca pecahnya Uni Sovyet. Sewaktu dunia sedang berada di tengah-tengah perang dingin, yakni antara Blok Barat dan BlokTimur, atau paham Liberalisme dan Sosialisme, dimana kekuatan kapitalisme barat seakan-akan menampakkan wajah yang menakutkan, terlebih ketika dialektika perkembangan ekonomi diserahkan kepada pasar dan pemilik modal. Dengan demikian, jurang pemisah antara yang kaya dan miskin semakin lebar, dan akhirnya melahirkan sebuah sistem penindasan baru, dan di kemudian hari mengikis semangat solidaritas antar umat manusia.

Untuk memperbaiki ‘keguncangan solidaritas’ tersebut, Jan Patocka memberikan konsep, yang mungkin saja dapat dipergunakan semua kelompok civil society, yakni ‘kesadaran sejarah’, ‘historical consciousness’. Sejarah perkembangan peradaban umat manusia berangkat dari keharmonisan, yaitu keharmonisan dengan sesama serta keharmonisan dengan lingkungan. Pemahaman atas keharmonisan yang dimaksud di atas harus diletakkan dalam konteks kesetaraan (equality).

Apabila kita mengarahkan wacana berpikir kita pada sejarah perkembangan peradaban manuia menurut teks Alkitab, maka kita menemukan prinsip keharmonisan yang diletakkan dalam konteks kesetaraan tersebut, terutama dalam kisah Penciptaan, terutama dalam Kejadian 1:27, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia, laki-laki dan perempuan diciptakan mereka’. Teks Alkitab tersebut berbicara tentang kesetaraan, bahwa di hadapan Allah tidak ada perbedaan manusia.

Pandangan Jan Patocka dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi, bahwa kesadaran sejarah sebagai nilai yang patut diperjuangkan gereja adalah ikut serta dalam perwujudan keharmonisan tersebut. Keharmonisan, dalam arti kesetaraan, dapat juga diartikan sebagai kesetaraan dalam mengakses semua potensi-potensi alam semesta, tanpa penciptaan sistem yang menempatkan sekelompok manusia dalam posisi tertindas, sementara yang lain mendapat prioritas.

Sekedar menjadi tambahan. Nihilisme, menurut Jan Patocka, menjadi salah satu ancaman bagi semua kelompok civil society , termasuk di dalamnya gereja. Bila gereja tidak memperjuangkan nilai, atau bila gereja tidak menggunakan moral yang menempatkan dirinya dalam perjuangan mewujudkan keharmonisan dalam konteks kesetaraan tersebut, maka suatu saat, umat manusia, khusunya warga gereja akan terjebak pada nihilisme, yakni ketidakpercayaan pada lembaga gereja. Yang paling radikal lagi, nihilisme tersebut dapat juga mengarahkan warga pada ketidakpercayaan pada pesan yang dibawakan oleh gereja, termasuk firman Tuhan.

***********
Saat ini, umat manusia diperhadapkan pada keprihatinan bersama, yaitu lingkungan hidup yang sudah tidak bersahabat, dan sistem sosial kehidupan manusia yang mengancam nilai-nilai solidaritas. Inilah pergumulan dunia dimana gereja hadir di dalamnya. Pada konteks ini, gereja diperhadapkan pada dua pilihan, yakni pertama, memilih untuk ikut dalam wahana pergumulan tersebut atau kedua, memilih untuk diam atau apatis, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Pilihan kedua tersebut memiliki resiko yang sangat besar, yakni munculnya nihilisme di dalam warga gereja sendiri.

Keprihatinan bersama sebagaimana disebutkan di atas adalah bentuk penyangkalan umat manusia terhadap prinsip kesetaraan sebagaimana yang telah dituliskan dalam teks Alkitab. Mari kita lihat situasi yang berkembang saat ini, dimana keseimbangan ekosistem sedang terancam akibat dari perkembangan ekonomi kapitalis yang berorientasi pada penggelembungan keuntungan dalam bentuk kapital atau uang. Pertanyaannya, berapa juta hektar hutan di Indonesia yang secara massiv dijadikan sebagai perkebunan swasta, seperti Kelapa Sawit sementara di sisi lain masyarakat Indonesia sedang mengalami krisis pangan (Maaf, bagi kita yang mengelola perkebunan Kelapa Sawit. Menurut penelitian ahli, tanaman Kelapa Sawit mengeluarkan sejenis gas yang ikut memberikan kontribusi pada pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini).

Disamping memberikan kontribusi dalam mengganggu keseimbangan ekosistem lingkungan hidup, prinsip ekonomi kapitalis ikut juga berkontribusi untuk memberikan ‘keguncangan solidaritas’nya Jan Patocka. Prinsip ekonomi kapitalis adalah kebebasan bagi para pemegang kapital untuk menentukan arah dan kebijakan ekonomi global. Dengan demikian, bagi rakyat yang tidak memiliki kapital, meskipun ia memiliki alat produksi, belum tentu sanggup menentukan nilai ekonomi dari objek yang ia produksi. Sebut saja semakin merananya kwalitas hidup para petani di pedesaan.

Memang, dalam tataran konsep teologi, kita sudah memiliki kesimpulan yang sama bahwa gereja harus hadir bersama-sama dengan umat manusia untuk mengatasi keprihatinan bersama. Namun, yang menjadi masalah adalah apakah kita sudah menempatkan keprihatinan tersebut sebagai sistem nilai dan moral yang harus diperjuangkan oleh gereja ?. Ini yang jadi masalah.

Pertumbuhan gereja seharusnya harus berani berdialektika dengan sejarah, dan jujur dengan sejarah serta perkembangannya (sebagaimana dipikirkan oleh Jan Patocka). Pertumbuhan gereja juga tidak bisa kita lepaskan dari sejarah dunia tempat kehadiran gereja tersebut. Karena itu, bila kita bergumul tentang pertumbuhan gereja yang mengalami stagnasi bahkan terdegradasi, mungkin saja diakibatkan oleh ketidakjujuran kita pada perkembangan peradaban umat manusia yang harus kita antisipasi bersama-sama.

Perjuangan nilai dan moral tersebut di atas, seharusnya menjadi agenda gereja pada saat ini. Bahwa perjuangan itu berat, benar. Namun, perjuangan yang berat tidak harus menjadikan kita pesimis. Artinya, demi pertumbuhan gereja di tengah-tengah sejarah peradaban manusia yang semakin berkembang, gereja seharusnya membuka diri dalam bentuk program aksi nyata di tengah-tengah dunia yang sedang mengalami ‘kegoncangan solidaritas’. Hal ini tentu sejalan dengan pandangan filsafat Post-Modern saat ini, seperti diutarakan oleh Derrida yang menekankan inter-relational. Artinya, unit-unit civil society, seperti gereja, harus membuka diri, dalam arti program aksi, sesuai dengan perubahan sejarah dimana gereja itu hadir (hal ini juga sejalan dengan pandangan Jan Patocka, ‘Historical Consciousness’, demi perwujudan kesetaraan semua ciptaan, sebagaimana semangat yang terdapat dalam teks Penciptaan).

*****************
Secara jujur, saat ini keberadaan gereja diperhadapkan pada tantangan yang sangat luar biasa. James Houston dalam bukunya The Hungry Soul mengatakan bahwa dunia saat ini dipenuhi umat yang haus dan lapar secara rohani. Ada ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh materi yang dikumpulkan. Ruang kosong itu hanya bisa diisi oleh hal-hal yang sifatnya rohani (demikian paparan Pdt. Dr. Jaharianson Saragih, Eporus GKPI, pada saat Rapat Pendeta XXXVII di GKPI Medan Kota, Jl. Sriwijaya pada tanggal 06-10 Juni 2011 yang lalu). Konteks ’ruang kosong’ tersebut menjadi inter-relational yang patut disadari gereja sebagai kontkes kesadaran sejarah yang harus ditempuh. Sejarah peradaban manusia saat ini sedang memasuki saat-saat kekosongan jiwa dimana saat ruang itu tetap dibiarkan kosong, maka masyarakat akan terjerumus pada ancaman nihilisme.

Namun, dalam rangka pemenuhan ruang kosong tersebut, gereja juga perlu memperhatikan hal yang sangat penting, yakni bahawa egosentrisme. Setiap individu dalam rangka pemenuhan ruang kosong tersebut, justru rentan pada jurang pemuasan individu semata sehingga menghasilkan manusia-manusia individualistik. Padahal, disamping spiritualitas yang kosong tersebut, gereja juga berhadapan dengan ‘kegoncangan solidaritas’ umat manusia. Artinya, ketika gereja menjangkau kekosongan spritualitas tersebut, gereja juga perlu menghindar dari pelaku investasi manusia individualistik. Idealnya, saat gereja berusaha memberikan nafkah atas kekosongan spritualitas umat, baiklah itu dilaksanakan dalam rangka penghargaan ciptaan secara holistik, yakni menciptakan individu yang bersolidaritas dengan ciptaan.

Hal ini perlu ditekankan melihat ancaman yang terjadi belakangan ini. Aspek spritualitas hanya pada pemuasan diri semata, sementara kekacauan disekitarnya cenderung diabaikan atau bahkan berpartisipasi menciptakan kekacauan sistem sosial umat manusia. Contoh: saat ini warga di sekitar Humbang Hasundutan sedang mengalami gagal panen oleh karena kesulitan petani untuk memprediksi alam, yakni musim hujan dan kemarau. Sangat jelas bahwa kegagalan panen tersebut merupakan situasi di luar kemampuan pemecahan masalah dari para petani tersebut. Kegagalan panen masyarakat Humbang Hasundutan merupakan salah satu konteks sejarah kehadiran gereja saat ini yang berindikasi pada relasi/hubungan manusia dengan alam yang sudah kacau balau. Artinya, sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka, gereja diperhadapkan pada situasi kekosongan spritual secara individu, dan kegoncangan solidaritas secara komunal ciptaan. Gereja dipanggil untuk menjangaku itu.